Oleh Deffriannanda, S.Sy
A. Pembahasan
1. Pengertian Impeachment
Istilah impeachment berasal dari kata to
impeach, yang berarti meminta pertanggungjawaban. Jika tuntutannya terbukti,
maka hukumannya adalah removal from office, atau pemberhentian dari jabatan.
Dengan kata lain, kata impeachment itu sendiri bukanlah pemberhentian, tetapi
baru bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran hukum yang dilakukan. Oleh
karena itu, dikatakan Charles L. Black, Strictly speaking, impeachment means
accusating or charge. Artinya, kata impeachment itu dalam bahasa Indonesia
dapat kita alih bahasakan sebagai dakwaan atau tuduhan. (Asshiddiqie: 2007.
600)
Lebih jelas, menurut Marsilam Simanjuntak,
impeachment adalah: Suatu proses tuntutan hukum (pidana) khusus terhadap
seorang pejabat publik ke depan sebuah quasi-pengadilan politik, karena ada
tuduhan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan Undang Undang Dasar.
Hasil akhir dari mekanisme impeachment ini adalah pemberhentian dari jabatan,
dengan tidak menutup kemungkinan melanjutkan proses tuntutan pidana biasa bagi
kesalahannya sesudah turun dari jabatannya.
Sedangkan menurut Black’s Law Dictionary mendefinisikan impeachment
sebagai “A criminal proceeding against a public officer, before a quasi
political court, instituted by a written accusation called ‘articles of
impeachment”. Impeachment diartikan sebagai suatu proses peradilan
pidana terhadap seorang pejabat publik yang dilaksanakan di hadapan Senat,
disebut dengan quasi political court
Dengan demikian nyatalah bahwa impeachment
berarti proses pendakwaan atas perbuatan menyimpang dari pejabat publik.
Pengertian demikian seringkali kurang dipahami, sehingga seolah-olah lembaga
“impeachment” itu identik dengan ‘pemberhentian’. Padahal proses permintaan
pertanggungjawaban yang disebut impeachment itu tidak selalu berakhir dengan
tindakan pemberhentian terhadap pejabat yang dimintai pertanggungjawaban.
Contoh kasus adalah peristiwa yang dialami oleh mantan Presiden Amerika
Serikat, Bill Clinton, yang di-impeach oleh House of Representatives, tetapi
dalam persidangan Senat tidak dicapai jumlah suara yang diperlukan, sehingga
kasus Bill Clinton tidak berakhir dengan pemberhentian. (matahatifh.wordpress.com)
2. Sejarah
Impeachment
Secara historis, impeachment berasal dari abad ke-14 di
Inggris. Parlemen menggunakan lembaga impeachment untuk memproses
pejabat-pejabat tinggi dan individuindividu yang amat powerful,
yang terkait dalam kasus korupsi, atau hal-hal lain yang bukan merupakan
kewenangan pengadilan biasa.
Di Amerika Serikat, pengaturan impeachment terdapat dalam Article 2 Section 4 yang
menyatakan, “The
President, Vice President, and all civil officers of the United States, shall be removed from office on impeachment for and conviction of
treason, bribery, or other high crimes and misdemeanors”. Pasal inilah yang kemudian mengilhami
konstitusi-konstitusi negara lain dalam pengaturan impeachment termasuk Pasal 7A Perubahan Ketiga UUD 1945 yang
menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam
masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden. (Yudho:2005.40)
3. Impeachment di
Indonesia
Tampak
jelas bahwa meskipun Presiden dan/Wapres dipilih secara langsung oleh rakyat,
kedua pejabat Negara tersebut dapat diberhentikan dalam masa jabatannya
meskipun sulit dan dapat menimbulkan problem teknis procedural. Merupakan hal
yang wajar bahwa pemberhentian Presiden dan/ Wapres dalam masa jabatannyaitu
dicantumkan dan diatur dalam konstitusi, mengingat bukan tidak mungkin kedua
pejabat Negara tersebut memang melakukan pelanggaran-pelanggaran serius atau
tidak lagi memenuhi syarat untuk terus berada dalam jabatannya. (Mahfud:2009.
142)
Di Indonesia, jika ditilik dari Pasal 7A dan 7B UUD 1945 hasil
amandemen, penjatuhan Presiden. Proses
impeachment di Indonesia melalui proses di 3 lembaga negara secara langsung.
Proses yang pertama berada di DPR. DPR melalui hak pengawasannya melakukan proses
“investigasi” atas dugaan-dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang
tergolong dalam alasan-alasan impeachment. Setelah proses di DPR selesai,
dimana Rapat Paripurna DPR bersepakat untuk menyatakan bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah melakukan tindakan yang tergolong alasan untuk di-impeach
maka putusan Rapat Paripurna DPR itu harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi.
Sebelum akhirnya proses impeachment ditangani oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) untuk mendapat kata akhir akan nasib Presiden dan/atau Wakil
Presiden. (www.wikisource.com)
Banyak
yang menilai bahwa dalam konteks ini fungsi Mahkamah Konstitusi menjadi lemah
alias sumir. Pertanyaan yang sering diajukan adalah: jika MK sudah memutuskan
Presiden dan/Wapres terbukti bersalah, mengapa MPR masih diberi peluang untuk
tidak menjatuhkan Presiden dan atau Wakil Presiden? Kalau begitu, apa gunanya
ada Mahkamah Konstitusi? Tapi, apapun pertanyaannya itulah kenyataan yang
berlaku dalam hukum tata Negara. Kenyataan ini tidak perlu dibenturkan dengan
teori atatu dengan cara yang dianut Negara lain. Sebab, pada dasarnya hukum
tata Negara yang mengikat adalah apa pun yang oleh rakyat dan Negara yang
bersangkutan telah dimuat didalam konstitusinya. Dengan kata lain, apa pun isi
konstitusi, itulah ketentuan hukum tata Negara yang berlaku. Dalam hal ini,
filosofi yang mendasarinya adalah bahwa Negara Indonesia, berdasarkan pasal 1
ayat (2), adalah Negara demokrasi yang lebih menekankan pada aspek politik dan,
berdasarkan Pasal 1 ayat (3) adalah Negara hukum (nomokrasi) sehingga dalam hal
penentuan nasib jabatan Presiden cara yang diambil adalah kombinasi antara
Demokrasi dan nomokrasi.
4. Mekanisme
Impeachment Oleh Mahkamah Konstitusi
Pihak-pihak
Proses
Impeachment adalah pelaksanaan fungsi pengawasan DPR yang menurut UUD harus
melalui MK. Dengan demikian, pemohon dalam perkara impeachment adalah DPR
sendiri yang meminta pendapat yang telah diputuskan menurut mekanisme politik.
Dalam pasal 2 ayat 1 Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 21 tahun 2009
tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran
Oleh Presiden dan/ Wakil Presiden dikatakan bahwa Pihak yang memohon putusan MK
atas pendapat DPR adalah DPR yang diwakili oleh pimpinan DPR yang dapat
menunjuk kuasa hukumnya. Jadi kesimpulannya tidak sembarangan anggota DPR yang
bisa mengajukan permohonan kepada MK.
Kemudian dalam
pasal 2 ayat 2 PMK No.21 Tahun 2009 dijelaskan tentang siapa yang menjadi pihak
termohon dalam perkara Impeachment yaitu adalah Presiden dan/ atau Wakil
Presiden yang dapat didampingi dan/atau diwakili oleh kuasa hukumnya.
Tata Cara Mengajukan Permohonan
Permohonan yang
diajukan kepada MK haruslah diajukan oleh pimpinan DPR atau kuasanya secara
tertulis dalam bahasa Indonesia dan dibuat 12 rangkap yang ditandatangani oleh
Pimpinan DPR atau kuasa hukumya. Dalam permohonan tersebut DPR wajib
menguraikan dengan jelas mengenai dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhiantan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.Dan juga apakah
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945.
Yang dimaksud
dengan pengkhianatan terhadap Negara adalah tindak pidana terhadap keamanan
Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Korupsi merupakan tindak pidana
korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Penyuapan adalah tindak pidana
penyuapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Sedangkan Tindak pidana berat
lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun
atau lebih dan perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan
martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Terakhir adalah yang dimaksud dengan
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah
syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UUD 1945 dan Undang-Undang yang
terkait.
Dalam permohonan
tersebut harus memuat secara rinci mengenai jenis, waktu, dan tempat
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila
diduga Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum. Kemudian
permohonan juga harus memuat uraian yang jelas mengenai syarat-syarat apa yang
tidak dipenuhi dimaksud apaabila diduga Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dalam permohonan
tersebut DPR wajib melampirkan alat bukti berupa: a. Risalah dan/atau berita
acara proses pengambilan keputusan DPR bahwa pendapar DPR didukung oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam Sidang
Paaripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota; b.
Dokumen hasil pelaksanaan fungsi pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPR yang
berkaitan langsung dengan materi permohonan; c. Risalah dan/atau berita acara
rapat DPR; d. Alat-alat bukti mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau wakil Presiden yang menjadi dasar Pendapat DPR. Alat –alat bukti yang
mendukung DPR dapat berupa surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan
ahli, keterangan pihak-pihak, petunjuk, dan alat bukti lain berupa informasi
yang diucapaakan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan
alat optik atau yang serupa dengan itu.
Registrasi Perkara dan Penjadwalan Sidang
Setelah
permohonan masuk ke MK maka akan diperiksa oleh Panitera mengenai kelengkapan
syarat-syarat permohonan. Apabila belum lengkap diberitahukan kepada DPR untuk
diperbaiki dan/atau dilengkapi dalam jangka waktu paling lama 3 hari kerja
sejak pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut diterima DPR. Kemudian setelah
lengkap dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) oleh panitera.
Setelah itu panitera mengirimkan satu berkas permohonan yang sudah diregistrasi
kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam jangka waktu paling lambat 3 hari
kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK disertai permintaan tanggapan
tertulis atas permohonan yang dimaksud. Tanggapan tertulis Presiden dan/atau
Wakil Presiden dibuat dalam 12 rangkap dan sudah harus diterima oleh Panitera
paling lambat satu hari sebelum sidang pertama dimulai.
Mahkamah
menetapkan hari sidang pertama paling lambat 7 hari kerja sejak permohonan
diregistrasi oleh Panitera. Penetapan hari sidang diberitahukan kepada
pihak-pihak dan diumumkan kepada masyarakat melalui penempelan salinan
pemberitahuan di papan pengumuman mahkamah yang khusus digunakan untuk itu
Persidangan
Persidangan
dilakukan oleh Pleno Hakim yang sekurang kurangnya dihadiri oleh 7 orang hakim
konstitusi. Sidang pleno dipimpin oleh Ketua Mahkamah dan bersifat terbuka
untuk umum.
Tahap pertama
adalah sidang pemeriksaan pendahuluan. Dalam tahap ini wajib dihadiri oleh
Pimpinan DPR dan kuasa hukumnya. Presiden dan. atau Wakil Presiden berhak untuk
hadir dan apabila tidak dapat hadir maka dapat diwakili oleh kuasa hukumnya. Di
tahap ini, Mahkamah melakukan pemeriksaan atas kelengkapan permohonan dan
kejelasan materi permohonan kemudian Mahkamah memberikan kesempatan kepada
Pimpinan DPR dan/atau kuasa hukumnya untuk melengkapi dan/atau memperbaiki
permohonan seketika itu juga. Setelah dilengkapi dan/atau dilakukan perbaikan,
Mahkamah memerintahkan Pimpinan DPR untuk membacakan dan/ atau menjelaskan
permohonannya. Setelah itu, ketua sidang memberikan kesempatan kepada Presiden
dan/atau Wakil Presiden atau kuasa hukumnya untuk mengajukan pertanyaan dalam
rangka kejelasan materi permohonan.
Tahap kedua
adalah Sidang Tanggapan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ditahap ini Presiden
dan/atau Wakil Presiden wajib hadir secara pribadi dan dapat didampingi oleh
kuasa hukumnya untuk menyampaikan tanggapan terhadap pendapat DPR. Tanggapan
itu dapat berupa sah atau tidaknya proses pengambilan keputusan pendapat DPR,
materi muatan Pendapat DPR dan perolehan serta penilaian alat bukti tulis yang
diajukan oleh DPR kepada Mahkamah. Dalam tahap ini, Mahkamah memberikan
kesempatan kepada Pimpinan DPR dan/atau kuasa hukumnya untuk memberikan
tanggapan balik
Tahap ketiga
ialah Sidang Pembuktian DPR. Di tahap ini DPR wajib membuktikan dalil-dalilnya
dengan alat-alat bukti baik berupa surat, keterangan saksi, keterangan ahli,
petunjuk dan alat bukti lainnya. Dalam pemeriksaan alat bukti yang diajukan
oleh DPR, Mahkamah memberikan kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil
Presiden dan/ atau kuasa hukumnya untuk mengajukan pertanyaan dan/atau
menelitinya
Tahap keempat
adalah Sidang Pembuktian oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam tahap ini
Presiden dan/atau Wakil Presiden berhak memberikan bantahan terhadap alat-alat
bukti yang diajukan oleh DPR dan melakukan pembuktian yang sebaliknya. Macam
alat bukti yang diajukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden pada dasarnya
sama dengan macam alat bukti yang diajukan oleh DPR. Mahkamah memberikan
kesempatan DPR dan/atau kuasa hukumnya u ntuk mengajukan pertanyaan, meminta
penjelasan, dan meneliti alat bukti yang diajukan oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
Tahap kelima
adalah Sidang Kesimpulan pihak-pihak dimana tahap ini setelah sidang-sidang
pembuktian oleh Mahkamah dinyatakan cukup. Mahkamah memberi kesempatan baik
kepada DPR maupun Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk menyampaikan
kesimpulan akhir dalam jangka waktu paling lama 14 hari setelah berakhirnya
Sidang Tahap empat. Kesimpulan tersebut disampaikan secara lisan dan/atau
tertulis.
Sebelum dibacakan
putusan atau tahap keenan ada mekanisme Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). RPH
diselenggarakan untuk mengambil putusan setelah pemeriksaan persidangan oleh
Ketua Mahkamah dipandang cukup. RPH dilakukan secara tertutup oleh Pleno Hakim
dengan sekurang-kurangnya dihadiri oleh 7 orang Hakim konstitusi. Pengambilan
keputusan dalam RPH dilakukan secara musyawarah untuk mufakat. Apabila tidak
mencapai mufakat maka keputusan diambil dengan suara terbanyak dan apabila
tidak bisa dengan suara terbanyak maka diambil suara terakhir Ketua RPH yang
menentukan.
Tahap keenam atau
terakhir adalah Pengucapan Putusan. Putusan MK terhadap pendapat DPR wajib
diputus dalam jangka waktu paling lambat 90 hari sejak permohonan dicatat dalam
BRPK. Putusan Mahkamah yang diputuskan dalam RPH dibacakan dalam sidang Pleno
terbuka untuk umum. Dalam amar putusan, mahkamah dapat menyatakan: a.
Permohonan tidak dapat diterima; b. membenarkan pendapat DPR apabila Mahkamah
berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhiantan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.Dan juga apakah Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945; c. Permohonan ditolak apabila pendapaat
DPR tidak terbukti. Setelah itu putusan tersebut wajib disampaikan kepada DPR dan
Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Putusan MK bersifat final secara yuridis dan
mengikat bagi DPR selaku pihak yang mengajukan permohonan.
Putusan MK yang
mengabulakan permohonan DPR tidak menutup kemungkinan diajukannya Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan pidana, perdata dan/atau tata usaha
negara sesuai dengan asas dan hukum acara masing-masing.
Kesimpulan
Istilah impeachment berasal dari
kata to impeach, yang berarti meminta pertanggungjawaban. Jika
tuntutannya terbukti, maka hukumannya adalah removal from office, atau
pemberhentian dari jabatan. Dengan kata lain, kata impeachment itu sendiri
bukanlah pemberhentian, tetapi baru bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran
hukum yang dilakukan. Oleh karena itu, dikatakan Charles L. Black, Strictly
speaking, impeachment means accusating or charge. Artinya, kata impeachment
itu dalam bahasa Indonesia dapat kita alih bahasakan sebagai dakwaan atau
tuduhan.
Proses impeachment di Indonesia melalui
proses di 3 lembaga negara secara langsung. Proses yang pertama berada di DPR.
DPR melalui hak pengawasannya melakukan proses “investigasi” atas dugaan-dugaan
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan tindakan-tindakan yang dapat
dikategorikan sebagai tindakan yang tergolong dalam alasan-alasan impeachment.
Setelah proses di DPR selesai, dimana Rapat Paripurna DPR bersepakat untuk
menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan tindakan yang
tergolong alasan untuk di-impeach maka putusan Rapat Paripurna DPR itu harus
dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Sebelum akhirnya proses impeachment ditangani
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk mendapat kata akhir akan nasib
Presiden dan/atau Wakil Presiden